Aku membiarkan hidup ini dalam buayan permainan, Takdir dan nasib.
Namun diantaranya sudah penuh dengan air mata, darah dan kebencian.
Sebuah rasa sakit yang semata-mata hanya untuk kejujuran.
Sebuah ketulusan yang kemudian harus menempuh kepedihan.
Biarlah kaki ini terkuliti, tersiram racun yang paling pedih.
Menikmati perbatasan kehidupan yang tidak tahu hari esok.
yang pada dasarnya menanyakan harga diri yang tidak seberapa.
Kemudian aku menyaksikan sebagai sajian makan siang dari nasi yang sudah basi.
Aku tahu kekacauan yang sudah datang menerpa.
Entah mungkin karena dosa-dosa.
Memandang pada tataran yang paling rendah.
Sebagai manusia yang tidak layak sama sekali.
Aku melihat ibuku dalam alunan harapannya.
Ayah yang terbuai dalam keputus asaannya.
Adik yang di nina bobokan atas apa yang telah di lakukan kakaknya.
Sedangkan kehidupan ini menjadi kenyataan yang sangat pedih bagi mereka.
Mereka memakan apa yang pedih.
Mereka menghirup udara yang busuk.
Sedangkan kebahagiaan ini menjadi angin yang tidak pernah mereka sentuh.
Aku ada di dalamnya.
Aku sudah hilang dengan sejuta impian palsu.
Aku dilahirkan dengan balutan kepedihan mereka.
Aku memakan kepalsuan.
Aku hanya sebuah bayi yang tak tepat.
Aku nista dengan keyakinan impian yang kosong.
Aku munafik dengan sejuta kehormatan yang paling hina.
Aku hanya aku, yang terbuai.
Aku sama sekali fana.
Aku sama sekali sementara.
Aku hanya kewajaran dalam penderitaan yang indah.
Aku menginginkan mereka karena ketulusan.
Aku membutuhkan mereka karena terlahir.
Sayang,
jika engkau menyesal kemudian hari.
Kemudian lambang kasihmu hancur termakan usia.
lalu menyisakan penderitaan.
Maka tersenyumlah untukku sekali saja.
Berbaringlah mendekat dengan kehangatan kebahagiaan.
sentuhlah tanganku walau aku tak memilikimu.
Kataakan kau rindu akan aku.
Aku sebagai aku yang terlahir dari kepahitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar