Pasang Iklan

Selasa, 30 November 2010

MAKNA SEBUAH KEMATIAN

Aku masih ingat saat berjalan di sepanjang jalan dekat pemakaman. Orang-orang menangis perih di tinggalkan seorang yang telah datang pada gilirannya. Entah apa yang akan dilihat dengan datangnya kematian tersebut, mereka tidak menginginkan hal itu terjadi. Hanya saja keabadian yang sepertinya mereka harapkan musnah sudah.
Pada dasarnya kematian adalah permintaan mereka untuk kembali pada sang pencipta. Ia menanyakan berbagai pertanyaan yang akan menjelang pada waktunya. Ia berbalik sedikit pada rasa yang hendak ia rasakan nanti. Bagi mereka itu adalah perkara mudah, menghujamkan jiwa paling dalam dan mengoyaknya.
Yang terpenting dalam kehidupan ini bukan sebuah kelahiran dan kematian, namun bagaimana kita hidup dengan ribuan nasib yang menunggu kita. Apa pun itu semuanya sama, kita terlahir sebagai manusia yang bersuci diri dari berbagai kilatan noda-noda.

KARENA ORANG YANG AKU RINDUKAN

Dalam balutan kasih yang masih melekat hingga kini, terasakan sangat deras menerpa ingatan kembali. Dengan hembusan angin yang tiba-tiba goyah dan tidak menentu arah tersebut, aku bersandar pada tembok batu besar. Namun, perasaan itu tidak sedikitpun reda setelah mengobatinya dengan sebuah ucapan yang merdu. Yang aku sadari saat ini tidak sekedar pembicaraan kosong yang tidak bermakna sedikitpun. Diantaranya masih menyisakan duka yang mendalam, terhujam sangat dalam pada sanubari yang lemah dan menggores perasaan yang entah kemana saat ini.
Aku memimpikan sesuatu yang buram, pucat dan penuh penderitaan. Diantaranya memohon pertolongan yang tulus dalam mimpi itu. Seseorang yang kemudian mendorong pada jurang kasih yang terdalam. Yang menjatuhkan perasaan ini pada tungku dan memasaknya hingga layu. Aku tidak sadar dengan ucapannya yang lirih, entah apa yang harus aku perbuat saat itu. Kemudian bunga-bunga pada lapang yang luas dan indah mencobanya memetik dengan kesungguhan. Aku membawakannya air kehidupan dan menggunakannya untuk menghidupkan kembali jiwa yang mati.
Ia terjerat sesuatu yang tidak nyata, menerpanya hingga kesedihan datang silih berganti. Aku pergi tiba-tiba dengan perasaan ragu. Ia tidak mencegahku hingga kini, karena kasih sayangnya telah buta. Aku makan dan minu dengan ingatan yang masih melekat, balutan selimut kerinduan yang sangat pedih. Harapan yang mulai rapuh, menikmatinya pada ruang-ruang kosong dan dingin. Ia menangis dalam kehampaan, pada harapan yang hilang akhirnya.
Selimut itu masih saja terbang mencari pendaratan yang tepat, menawarkan janji palsu. Ia tidak ragu akan tanah kering pada dataran kosong itu, sampai kapan knyataan itu dapat terlaksana. Hingga tiba waktu penentuan baginya untuk kembali padaku. Aku masih dapat bertahan bersamanya, selama logika yang tidak surut dan melawan arah gaya gravitasi yang sangat kuat. Aku menariknya dan membentangkannya tnpa ragu. Mempertaruhkan hidup yang masih hampa. Baginya hanya kewarasan yang luar biasa, menyadarkan dan memakmurkan sebagian orang-orang disekitar bilik kasih.
Titik gerimis memberikan cahaya pucat, awan itu tenggelam pada selah bumi terdalam. Mati dan musnah seiring datangnya hembusan angin. Rasa syukur itu terium pada bibir merahnya, mengukirkan kata-kata merdu kembali. Tanpa seseorang yang aku rindukan, semuanya tidak akan mungkin terjadi.

HUJAN MUNGKIN AKAN DATANG

Aku masih ingat dengan jelas, tergambarkan dalam ingatan paling dalam. Udara pagi yang melekat dingin merenggeut mimpi indah dalam tidur. Kemudian aku merasakan hal baru dalam pikiran ini, banyak dan begitu membingungkan. Hingga aku seketika bertanya-tanya pada teman yang masih tersadarkan pada keindahan waktu itu. Nyatanya tidak ada yang semudah sebelumnya, mereka sama tidak mengerti dan mencampakan pada pertanyaan terakhir. "Dimana aku saat ini?"
Sampailah aku pada dasar lembah yang lembab, sedikit-sedikit mengucurkan air dari dedaunan yang berjatuhan dan berembun. aku berfikir keras untuk mengetahui di mana aku saat itu. Teman-teman yang terlihat tidak nyata dalam ingatan kemudian berjalan tanpa ada kata-kata di antara mereka. Beberapa waktu lamanya, tidak terasa lelah maupun sesak. seperti melayang mencari jalan keluar dan kembali pada peradaban yang hilang itu.
Kemudian dengan tiba-tiba aku teringat akan sesuatu, hal yang paling mengerikan. Sebuah ingatan pada kematian yang membuat tubuhku menjadi kaku tidak bergerak. Aku membayangkan bahwa kematian yang dalam membawa sedikit kerinduan akan hal-hal bahagian di atas sana. Sebuah keramaian dari orang-orang yang hangat dan tertawa hingar bingar sudah berakhir sampai di sana.
Aku masih bimbang, diantara keraguan dan tipuan alam yang menyesatkan. semuanya bercampur tidak karuan setelah mereka sampai pada batu-batuan terakhir. Teman-temanku hilang begitu saja, mencampakanku seorang diri pada lembah sunyi. tidak ada perenungan dan semuanya hanya penyesalan. Teringat akan dosa-dosa dan kesalahan yang aku perbuat. Tidak ada lagi harum masakan ibu, tinggal bau busuk tanah lembah yang di penuhi lumut. Sudah tidak ada lagi senyuman, tinggal suara angin berdesir pada keraguan. dan tidak ada lagi cinta kasih, tinggal kesendirian dalam keinduan yang menyiksa.
Aku tidak dapat memutuskan apa-apa, mereka bertanya dengan suara yang tidak aku mengerti. Aku masih ingin kembali, duduk dan tersenyum di depan mereka sambil membicarakan keluguan seorang. Aku masih merindukan keluarga yang bahagia, makan bersama dan menikmati canda tawanya. Aku masih merindukan lelah yang mengutuk, memberiku beban atas nafkah yang harus ku cari. Namun, buram seketika seiring datangnya hujan. Entah mengapa hujan itu terasa hangat, membalutku akan tangis yang mengerikan. Memohon akan kembalinya tubuhku pada dunia yang sebelumnya terenggut.
Aku terkejut akan kedatangan seseorang, aku masih mengingatnya hingga kini. Ia membawaku pada jalan mendaki dan lebih sulit. Kemudian menerima uluran tanganku yang dingin terhenyak kedalam perasaannya. Ia tiba-tiba menangis, memandangku dan memohon sebuah keputusan yang harus kami ambil pada jalan yang bercabang. Namun, aku tidak dapat memutuskannya. Aku sudah hilang dalam kabut beberapa tahun yang lalu. Kami sudah terpisah dan terlempar pada aliran sungai yang deras. kami akhirnya saling membenci, menyatakan sumpah serapah dan tidak tersadar. Kemudian, suara-suara hilang ditelan teriakan nyawa yang mulai hilang.
Aku harus diam sementara, menahan rasa jijik pada kebohongan. Ia menangis dengan meratap pada bebatuan yang gelap. Kebohongannya tetap tidak terbayarkan hingga kini. Akhirnya ada sinar yang datang membawa penderitaan kami berdua bersamaan. Ia mengusap kelu rambut ku, memberikan bisikan sayang yang jujur, mengecup kening dengan penuh keceriaan dan menatap dalam pada bola mata hitamku. Ia tersenyum, mengusap pipiku seraya jari-jarinya yang semakin bercahaya. Aku memintanya membawa seseorang yang sedang meratap kini. Aku memintanya untuk membawa kembali tubuhnya dalam keceriaan. Dan ia mengabulkannya tanpa ada keraguan sedikitpun.
Aku terduduk lega saat mereka pergi, tidak ada lgi permohonan saat itu. Aku melihat mereka menghilang dan mereka terbenam pada bukit dan terhempas pada langit yang gelap. Walaupun tidak ada bintang, aku rasa hari ini akan kembali hujan. Tersadar atau tidak hujan itu akan datang lagi, memberikan kerinduan yang indah. membawa sejuta harapan pada benih-benih yang masih tertidur. Menyajikan kabut dan gemerlapnya hingga aku tertidur nyenyak.
Aku dudk sendiri, berteman baik dengan seseorang disampingku yang tadi pergi sementara. Tidak ada lagi yang ceria, tidak ada lagi yang memohon dan aku bingung pada keraguan yang masih membara itu. Hingga hujan turun dan berlalu dan teman sejati tinggalah sepi.

MENGAKHIRINYA DENGAN MU

Nafas ini kemudian tersesak saat berbagai rasa-rasa yang dulu hilang.

Entah bagaimana bentuknya, kemudian tercipta dari kekacauan yang semestinya tidak terjadi.

Kita sama sekali tidak tahu kalau kita tidak saling jauh.

Kita saling berhadapan karena hati kita yang menginginkannya.

Aku merasa menjadi jingga, bercahaya dan ingin terus hadir memberikan kehangatan untuk mu.

Aku ingin fana yang memberikan kerinduan yang sangat mendalam di kebosanan hari-harimu.

Aku pun kembali menjadi putih, bertebaran dalam hatimu, menyusuri dalam bait puisi cintamu,

menyajikan sebuah bayangan kelabu dari serpihan tubuh ini.

rasanya aku ingin memelukmu.

membawa dirimu dalam kedamaian yang fana.

Walaupun semuanya akan berakhir, aku ingin mengakhirinya denganmu.

AKU HANYA KEPAHITAN

Aku membiarkan hidup ini dalam buayan permainan, Takdir dan nasib.
Namun diantaranya sudah penuh dengan air mata, darah dan kebencian.
Sebuah rasa sakit yang semata-mata hanya untuk kejujuran.
Sebuah ketulusan yang kemudian harus menempuh kepedihan.

Biarlah kaki ini terkuliti, tersiram racun yang paling pedih.
Menikmati perbatasan kehidupan yang tidak tahu hari esok.
yang pada dasarnya menanyakan harga diri yang tidak seberapa.
Kemudian aku menyaksikan sebagai sajian makan siang dari nasi yang sudah basi.

Aku tahu kekacauan yang sudah datang menerpa.
Entah mungkin karena dosa-dosa.
Memandang pada tataran yang paling rendah.
Sebagai manusia yang tidak layak sama sekali.

Aku melihat ibuku dalam alunan harapannya.
Ayah yang terbuai dalam keputus asaannya.
Adik yang di nina bobokan atas apa yang telah di lakukan kakaknya.
Sedangkan kehidupan ini menjadi kenyataan yang sangat pedih bagi mereka.

Mereka memakan apa yang pedih.
Mereka menghirup udara yang busuk.
Sedangkan kebahagiaan ini menjadi angin yang tidak pernah mereka sentuh.
Aku ada di dalamnya.

Aku sudah hilang dengan sejuta impian palsu.
Aku dilahirkan dengan balutan kepedihan mereka.
Aku memakan kepalsuan.
Aku hanya sebuah bayi yang tak tepat.

Aku nista dengan keyakinan impian yang kosong.
Aku munafik dengan sejuta kehormatan yang paling hina.
Aku hanya aku, yang terbuai.
Aku sama sekali fana.

Aku sama sekali sementara.
Aku hanya kewajaran dalam penderitaan yang indah.
Aku menginginkan mereka karena ketulusan.
Aku membutuhkan mereka karena terlahir.

Sayang,
jika engkau menyesal kemudian hari.
Kemudian lambang kasihmu hancur termakan usia.
lalu menyisakan penderitaan.

Maka tersenyumlah untukku sekali saja.
Berbaringlah mendekat dengan kehangatan kebahagiaan.
sentuhlah tanganku walau aku tak memilikimu.
Kataakan kau rindu akan aku.
Aku sebagai aku yang terlahir dari kepahitan.